Pages

Subscribe:

Minggu, 03 Juni 2012

KOMPETENSI GURU


KOMPETENSI GURU
A. Pendahuluan
            Kemampuan belajar mengajar adalah kemampuian essensial yang harus dimiliki oleh seorang guru, tidak lain adalah karena tugas guru yang paling utama adalah mengajar, yang dihadapi oleh guru adalah siswa-siswa yang dinamis, baik sebagai akibat dari dinamika internal yang berasalah dari siswa maupun sebagai akibat dari dinamika lingkungan yang sedikit banyak berpengaruh kepada siswa.
            Oleh karena itu, kemampuan mengajar guru haruslah dinamis pula, sebagai akibat dari tuntutan-tuntutan dinamika yang tak terelakkan. Berhasil atau gagalnya seorang siswa dalam pelajaran tidak hanya terletak kepada siswa itu sendiri, tetapi juga terletak pada kemampuan guru dalam mengaplikasikan proses pembelajaran.

            Untuk itu, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai jenis-jenis dan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam mengaplikasikan dan mendukung proses pembelajaran.

B. Pengertian Kompetensi Guru
            Kata kompetensi guru terdiri dari dua bagian, yaitu kata kompetensi dan kata guru. Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. E. Mulyasa mengutip dari Mc Ashan yang mengartikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya. Sehingga ia dapat melakukan prilaku-prilaku kognitif, efektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.[1]Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS. Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Selain itu, oleh Moh. Uzer Usman, mengutip pengertian kompetensi yaitu merupakan prilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.[2] Sedangkan pengertian guru adalah seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.[3] Guru menurut Sardiman A.M adalah satu-satunya komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan.[4]
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.

C. Jenis-Jenis Kompetensi
1. Kompetensi Kepribadian
            Dalam Standar Nasional Pendidikan, pejelasan pasal 28 ayat 3 butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.[5]
            Pribadi guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi guru juga sangat berperan dalam pembentukan pribadi peserta didik.
            Menurut Moh Uzer Usman, kemampuan pribadi ini meliputi hal-hal berikut :
  1. Mengembangkan kepribadian
-          Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
-          Berperan dalam masyarakat sebagai warga negara yang berjiwa Pancasila.
-          Mengembangkan sifat-sifat terpuji yang dipersyaratkan bagi jabatan guru.
  1. Berinteraksi dan berkomunikasi
-          Berinteraksi dengan sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional
-          Berinteraksi dengan masyarakat untuk penuaian misi pendidikan.
  1. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
-          Membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar
-          Membimbing murid yang berkelainan dan berbakat khusus.
  1. Melaksanakan administrasi sekolah
-          Mengenal pengadministrasian kegiatan sekolah
-          Melaksanakan kegiatan administrasi sekolah
  1. Melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
-          Mengkaji konsep dasar penelitian ilmiah
-          Melaksanakan penelitian sederhana.[6]

2. Kompetensi Profesional
            Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat 1 butir c, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi Profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.[7]
            Secara umum perumusan ruang lingkup Kompetensi Profesional guru sebagai berikut :
  1. Mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan baik filosof, psikologi, sosiologi dan sebagainya.
  2. Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai tarap perkembangan peserta didik.
  3. Mampu menganalisa dan mengambangkan bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya.
  4. Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar yang relevan.
  5. Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik.
  6. Mampu menumbuhkan kepribadian peserta didik.
Sedangkan secara khusus, kompetensi profesional guru dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.       Memahami Standar Nasional Pendidikan.
b.      Mengembangkan kurikulum satuan pendidikan
c.       Menguasai materi standar
d.      Mengelola program pembelajaran
e.       Mengelola kelas
f.       Menggunakan media-media dan sumber pelajaran
g.      Menguasai landasan kependidikan
h.      Memahami dan melaksanakan pengembangan peserta didik
i.        Memahami dan menyelenggarakan administrasi sekolah
j.        Memahami penelitian dalam pembelajaran
k.      Menampilakan keteladanan-keteladanan dan kepemimpinan dalam pembelajaran.
l.        Mengembangkan teori dan konsep dasar pendidikan
m.    Memahami konsep-konsep pembelajaran individual.

3. Kompetensi Sosial
            Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat 3 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Kompetensi Sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat disekitar.[8]
            Sedikitnya terdapat tujuh kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh guru agar dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif, baik di sekolah maupun di masyarakat, sebagai berikut :
  1. Memiliki pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama.
  2. Memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi
  3. Memiliki pengetahuan tentang inti demokrasi
  4. Memiliki pengetahuan tentang estetika.
  5. Memiliki apresiasi dan kesadaran sosial
  6. Memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan
  7. Setia terhadap harkat dan martabat manusia.
Sedangkan menurut H. Ahmad Sabri, jika dilihat dari segi tugas, peran dan tanggung jawab, maka kompetensi guru dapat dibagi menjadi 3 bidang, yaitu :
Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya.
Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata sesama teman seprestasinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
Kompetensi prilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa. Keterampilan melaksanakan administrasi kelas dan lain-lain perbedaannya dengan kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuannya, pada kompetensi prilaku yang diutamakannya adalah praktek/keterampilan melaksanakannya.[9]

D. Sepuluh Kompetensi Guru
            Sepuluh kompetensi guru sebagai sumber dan dasar umum atau sarana pendukung serta microteaching sebagai program latihan dan “beberapa komponen keterampilan mengajar”, sebagai berikut :
1. Menguasai Bahan
            Dengan modal penguasaan bahan, maka guru akan dapat menyampaikan materi pelajaran secara dinamis. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “menguasai bahan” bagi seorang guru, akan mengandung dua lingkup penguasaan materi, yakni :
-          Mengusai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah.
-          Mengusai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
Mengusai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah, yang dimaksudkan dalam hal ini guru harus mengusai bahan sesuai dengan materi atau cabang ilmu pengetahuan yang dipegangnya, sesuai yang tertera dalam kurikulum sekolah. Sebagai contoh : PMP, sejarah, geografi, ekonomi, biologi dan seterusnya. Kemudian agar dapat menyampaikan materi itu lebih mantap dan dinamis, guru harus juga menguasai bahan pelajaran lain yang dapat memberi pengayaan serta memperjelas dari bahan-bahan bidang studi yang dipegang guru tersebut.

2. Mengelola Program Belajar-Mengajar
            Ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru dalam mengelola program belajar-mengajar, sebagai berikut :
a. Merumuskan tujuan intruksional/pembelajaran.
            Sebelum mulai mengajar, guru perlu merumuskan tujuan yang akan dicapai. Dengan perumusan tujuan intruksional secara benar akan dapat memberikan pedoman atau arah bagi siswa atau warga belajar dalam menyelesaikan materi kegiatan belajarnya. Tujuan intruksional akan senantiasa merupakan hasil atau perubahan tingkah laku, kemampuan dan keterampilan yang diperoleh setelah siswa itu mengikuti kegiatan belajar.
b. Mengenal dan dapat menggunakan proses intruksional yang tepat.
            Guru yang akan mengajar biasanya menyiapkan segala sesuatunya secara tertulis dalam suatu persiapan mengajar. Guru harus dapat menggunakan dan memenuhi langkah-langkah dalam kegiatan belajar-mengajar itu. Sebagai contoh setelah merumuskan tujuan, dan begitu seterusnya sampai tahap pelaksanan.
c. Melaksanakan program belajar-mengajar.
            Dalam hal penyampaian materi guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
-          Menyampaikan materi dan pelajaran dengan tepat dan jelas.
-          Pertanyaan yang dilontarkan cukup merangsang untuk berpikir, mendidik dan mengenai sasaran.
-          Memberi kesempatan atau menciptakan kondisi yang tepat memunculkan pertanyaan dari siswa.
-          Terlihat adanya variasi dalam pemberian materi dan kegiatan.
-          Guru selalu memperhatikan reaksi atau tanggapan yang berkembang pada diri siswa baik verbal maupun nonverbal.
-          Memberikan pujian atau penghargaan bagi jawaban-jawaban yang tepat bagi siswa dan sebaliknya mengarahkan jawaban yang kurang tepat.
d. Mengenal kemampuan anak didik.
            Dalam mengelola program belajar-mengajar, guru perlu mengenal kemampuan anak didik. Sebab bagaimanapun juga setiap anak didik memiliki perbedaan-perbedaan karakteristik tersendiri, termasuk kemampuannya. Dengan demikian dalam suatu kelas akan terdapat bermacam-macam kemampuan. Hal ini perlu dipahami oleh guru agar dapat mengelola program belajar-mengajar dengan cepat.
e. Merencanakan dan melaksanakan program remedial
            dalam suatu proses belajar-mengajar tentu saja terkandung suatu harapan agar seluruh atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa dapat berhasil dengan baik. Namun kenyataannya sering tidak demikian. Salah satu usaha untuk mencapai hal itu adalah dengan pengembangan prinsif belajar tuntas atau mastery leaming. Belajar tuntas adalah suatu sistem belajar yang mengharapkan sebagaian besar siswa dapat menguasai tujuan intruksional umum (basic learning objectives) dari suatu satuan unit pelajaran secara tuntas.
            Untuk menguasai (mastery) suatu bahan/materi pelajaran diperlukan waktu yang berbeda-beda bagi setiap siswa. Apabila waktu yang disediakan cukup dan pelayanannya tepat maka setiap siswa akan mampu menguasai bahan/materi pelajar yang diberikan kepadanya. Pemikiran inilah yang mendasari adanya program remedial : yaitu suatu kegiatan perbaikan bagi siswa yang belum berhasil dalam belajarnya (belum mastery). Dalam suatu proses belajar mengajar yang ideal akan mengandung dua macam kegiatan yaitu, pengayaan bagi siswa yang sudah berhasil menguasai suatu satuan atau unit pelajaran di satu pihak, dan perbaikan bagi yang belum berhasil di lain pihak.
            Kegiatan perbaikan biasanya dilaksanakan pada saat-saat setelah diadakan evaluasi. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perbaikan ialah :
-          Sifat kegiatan perbaikan
-          Jumlah siswa yang memerlukan
-          Tempat untuk memberikan
-          Waktu untuk diselenggarakan
-          Orang yang harus memberikan
-          Metode yang digunakan
-          Sarana atau alat yang digunakan
-          Tingkat kesulitan belajar siswa

3. Mengelola kelas
            Untuk mengajar disuatu kelas, guru dituntut mampu mengelola kelas, yakni menyediakan kondisi yang kondusif untuk berlangsungnya proses belajar mengajar. Kalau belum kondusif, guru harus berusaha seoptimal mungkin untuk membenahinya. Oleh karena itu kegiatan mengelola kelas akan menyangkut “mengatur tata ruang kelas yang memadai untuk pengajaran” dan “menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi”.
            Mengatur tata ruang kelas maksudnya guru harus dapat mendesain dan mengatur ruang kelas sedemikian rupa sehingga guru dan anak didik itu kreatif, betah belajar diruangan itu. Selain itu, kelas harus selalu dalam keadaan bersih.
            Kemudian yang berkaitan dengan menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi, maksudnya guru harus mampu menangani dan mengarahkan tingkah laku anak didiknya agar tidak merusak suasanan kelas.

4. Menggunakan media sumber
            Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam menggunakan sumber belajar, yaitu :
a. Mengenal, memilih dan menggunakan sesuatu media
            hal ini perlu selektif, karena dalam kegunaan sesuatu media itu juga harus mempertimbangkan komponen-komponen yang lain dalam proses belajar-mengajar, misalnya apa materi dan bagaimana metodenya.
b. Menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar-mengajar.
c. Mengunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar
d. Menggunakan unit microteaching dalam program pengalaman lapangan.

5. Menguasai landasan-landasan kependidikan
            Pendidikan adalah serangkaian usaha untuk pengembangan bangsa yang dapat diwujudkan dengan usaha menciptakan ketahanan nasional dalam rangka mencapai cita-cita bangsa. Itulah sebabnya pendidikan nasional kita rumuskan sebagai usaha sadar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.
            Rumusan pendidikan nasional sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pancasila sebagai landasan idiil  dan UUD 1945 merupakan landasan konstitusional. Di dalam UUD 1945 bab XIII pasal 31 dijelaskan bahwa :
a. Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
b. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
    nasioanal, yang diatur dengan UU.
            Kemudian di dalam GBHN ternyata telah memberikan arah dan tujuan sistem pendidikan nasional, yakni sistem pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Dengan demikian jelas, guru sebagai salah satu unsur manusiawi dalam kegiatan pendidikan harus memahami hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan nasional baik dasar, arah/tujuan dan kebijakan-kebijakan pelaksanaannya. Dengan memahami itu semua guru akan memiliki landasan berpijak dan keyakinan yang mendorong cara berpikir dan bertindak. Edukatif di setiap situasi dalam usaha mengelola interaksi belajar-mengajar. Dengan demikian Pancasila, UUD 1945, GBHN merupakan landasan falsafah bagi kegiatan guru dalam menjalankan berbagai ketetapan Pemerintah dalam bidang pendidikan.

6. Mengelola interaksi Belajar-Mengajar
            Agar mampu mengelola interaksi belajar-mengajar, guru harus menguasai bahan/kondisi, mampu mendesain program belajar-mengajar, mampu menciptakan kondisi kelas, yang kondusif, terampil memanfaatkan media dan memilih sumber serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai dasar bertindak.
            Ada beberapa komponen dalam interaksi belajar-mengajar. Komponen-komponen itu misalnya guru, siswa, metode, alat/teknologi, sarana, tujuan. Untuk mencapai tujuan instruksional, masing-masing komponen akan saling merespon dan mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain dan guru harus dapat mendesain dari masing-masing komponen agar menciptakan proses belajar-mengajar yang lebih optimal sehingga tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran
            Dalam hal ini secara konkrit guru dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Mengumpulkan data hasil belajar siswa :
-          Setiap kali ada usaha mengevaluasi selama pelajaran berlangsung.
-          Pada akhir pelajaran.
    1. Menganalisa data hasil belajar siswa. Dengan langkah ini guru akan mengetahui :
-          Siswa yang menemukan pola-pola belajar lain.
-          Keberhasikan atau tidaknya siswa dalam belajar.
    1. Menggunakan data hasil belajar siswa, dalam hal ini menyangkut :
-          Lahirnya feed back untuk masing-masing siswa dan ini perlu diketahui oleh guru.
-          Adanya feed back ­itu maka guru akan menganalisa dengan tepat follow up atau kegiatan-kegiatan berikutnya.

8. Mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah
            Guru harus mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah serta harus menyelenggarakan program layan bimbingan di sekolah, agar kegiatan interaksi belajar-mengajar bersama para siswa menjadi tepat dan produktif.
Itulah sebabnya maka ada prinsif-prinsif konseling yang dapat digunakan untuk mengembangkan program bimbingan dan penyuluhan di lembaga/sekolah, yakni :
a.       Konseling/penyuluhan merupakan bantuan yang diberikan secara sengaja.
b.      Prosesnya dilaksanaka melalui hubungan antar personal
c.       Sasaran konseling adalah konseling atau klien yakni, maha siswa (siswa) agar dapat mengatasi hambatan yang dialami pada proses perkembangannya.
d.      Tujuan memberikan tuntutan agar konseling atau klien tadi mampu memilih dan menentukan cara-caranya sendiri untuk mengatasi hambatannya.
Prinsif-prinsif tersebut tentu harus dipahami oleh guru dalam rangka melaksanakan program bimbingan dan konseling.

9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
            Guru selain sebagai mengajar, pendidik dan pembimbing juga sebagai administrator. Dengan begitu, maka guru harus mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah. Hal ini sebagai upaya layanan terhadap para siswa.
            Pada garis besarnya administrasi sekolah atau khusus administrasi kelas dapat dikatakan sebagai kegiatan catat-mencatat dan lapor-melapor secara sistematis mengenai informasi tentang suatu sekolah/kelas yang merupakan dua pekerjaan pokok dalam administrasi sekolah/kelas bagi guru.
-          Kegiatan recording (catat-mencatat) ini meliputi catatan-catatan mengenai siswa yaitu : daftar presensi (harian maupun bulanan), catatan tugas/pekerjaan siswa (baik kelompok maupun individu), data pribadi siswa. Sedangkan catatan-catatan yang penting bagi guru yaitu : silabus mata pelajaran, kumpulan soal-soal ujian dan tugas, catatan hasil evaluasi siswa.
-          Kegiatan reporting (lapor-melapor) bagi guru meliputi laporan kepada kepala sekolah yaitu hampir semua kegiatan reporting, perlu dilaporkan kepada kepala sekolah. Dan laporan kepada orang tua siswa yaitu, laporan tentang hasil belajar (achievement), laporan tentang perkembangan pendidikan, mengenai keadaan anak yang biasanya dilakukan dengan dialog guru dan orang tua siswa.

10. Memahami prinsif-prinsif dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guru keperluan pengajaran.
            Hal ini dalam rangka menumbuhkan penalaran dan pengembangkan proses belajar-mengajar. Selain itu yang penting lagi bagi guru harus dapat membaca dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan. Dengan ini guru akan dapat memasukkan sehingga bisa diterapkan untuk keperluan proses belajar-mengajar.[10]
            Kompetensi guru dikembangkan berdasarkan pada analisa tugas-tugas yang harus dilakukan guru. Oleh karena itu, sepuluh kompetensi tersebut secara operasional akan mencerminkan fungsi dan peranan guru dalam membelajarkan anak didik/siswa.

E. Penutup
            Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa kompetensi guru merupakan pengetahuan keterampilan dan kemampuan guru dalam proses pembelajaran, guru mempunyai kemampuan dalam mengelola pembelajaran, merancang, maupun dalam hal penyusunan program pembelajaran.
            Kemudian dari uraian tersebut juga kita ketahui bahwa guru harus memiliki kompetensi atau kemampuan dalam mengajar, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.








[1] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 38.
[2]Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 14.
[3]Rusady Ruslan, Etika Kehumasan Konsep-Konsep dan Aplikasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31.
[4]Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2003), hlm. 125.
[5] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 108.
[6] M. Uzer Usman, Op. cit., hlm. 16-17.
[7] E. Mulyasa, Op. cit., hlm. 135.
[8] Ibid., hlm. 173.
[9]Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), hlm. 78.
.[10]Sardiman A.M, Op. cit., hlm. 164-179.
1'�,l j � P sempurna jika tidak dibarengi dengan ketaatan kepada pemimpin yang sah. Dengan kata lain mentaati pemimpin berarti mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya mendurhakai dan menentang pemimpin sama dengan mendurhakai dan menentang Allah. Orang yang mendurhakai pemimpin sama jeleknya dengan mendurhakai Allah. Orang yang mendurhakai pemimpin Rasul sama dengan mendurhakai Allah. Natijahnya ialah menentang pemimpin berarti menentang Allah.
            Menurut keterangan yang diperoleh dari hadits-hadits rasulullah, paling tidak ada dua persyaratan kewajiban mentaati pemimpin :
  1. Pemimpin yang ditaati itu adalah pemimpin yang legal (sah)
  2. Pemimpin yang taat beragama dan setia kepada aturan agama.
Dalam penyampaiannya, seorang muslim tetap dituntut supaya tidak menyalahi kardinir agama. Oleh sebab itu, kita sebagai bawahan haruslah bisa untuk tidak mengeluarkan kata-kata kotor, penghinaan, penghajatan dan yang melecehkan hak-hak asasi orang lain. Karena menghina dan melecehkan pemimpin adalah sikap dan perbuatan yang tidak moral dan bahkan bukan perbuatan seorang muslim, meskipun apa yang disampaikan itu adalah benar.[3]
Sebagai bawahan haruslah menjaga etika ataupun hubungan yang baik karena sesungguhnya kode etik guru itu sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman sejawat, peserta didik, orang tua peserta didik, pimpinan, masyarakat dan dengan misi tugasnya. Etika hubungan guru dengan teman sejawat menuntut prilaku yang kooperatif, mempersoalkan dan saling mendukung.[4]
Adapun hubungan guru dengan atasannya adalah sebagai berikut :
  1. Guru wajib melaksanakan perintah dan kebijaksanaan atasannya
  2. Guru wajib menghormati hirarki
  3. Guru wajib menyimpan rahasia jabatan
  4. Setiap saran dan kritik kepada atasan harus diberikan melalui prosedur dan forum yang semestinya.
  5. Jalinan hubungan antara guru dengan atasan hendaknya selalu diarahkan untuk meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang menjadi tanggung jawab bersama.[5]
Etika hubungan dengan pemimpin di sekolah menuntut adanya saling mempercayai guru percaya bahwa pimpinan sekolah memberi tugas yang dapat dikerjakannya dan setiap pekerjaan yang dilakukan pasti ada imbalannya, paling tidak di akhirat kelak. Sebaliknya pemimpin sekolah/madrasah mempercayakan suatu tugas kepada guru karena keyakinannya bahwa guru tersebut akan mampu melaksanakannya sebaik mungkin. Dalam hubungan guru dengan pemimpin tersebut yang terpenting adalah tanggung jawab dari kedua belah pihak atas konsekuensi dari beban kerja itu. Yang harus diterima guru dari pimpinan sekolah adalah tugas kependidikan. Kalau dalam pelaksanaan tugas ada masalah tertentu perlu konsultasi, manakala tugas telah dilaksanakan, guru memberi laporan. Jadi, isi utama hubungan guru dengan pimpinan sekolah adalah penerimaan pemberian tugas.[6]
Sebagai salah seorang anggota organisasi, baik organisasi guru maupun organisasi yang lebih besar guru akan selalu berada dalam bimbingan dan pengawasan pihak atasan. Dari organisasi ada strata kepemimpinan mulai dari pengurus cabang, daerah, sampai ke pusat, begitu juga sebagai anggota keluarga besar depdikbud, ada pembagian pengawasan mulai dari kepala sekolah, kakandep, dan seterusnya. Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat atau guru. Pemimpin ataupun atasan harus selalu dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat.[7]




Kesimpulan
            Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkankannya, bahwa kepemimpinan adalah merupakan kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu. Adapun unsur yang menjadi dasar seorang itu dinyatakan sebagai pemimpin yaitu :
  1. Mampu mempengaruhi orang
  2. Mampu menumbuhkan perasaan ikut serta
  3. Bertanggungjawab.

Adapun etika guru terhadap atasannya adalah bersifat harga menghargai, menghormati / menaati, toleran, tolong menolong, lemah lembut, sabar, tidak merasa rendah hati dan tenang apabila kita menghadapi masalah, dan lain-lain.




[1] Hendiyat Soetopo dan Wasty Sumanto, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Jakarta : PT Bina Aksara, 1984), hlm. 1-3.
[2] Fachruddin, Administrasi Pendidikan, (Bandung  : Cita Pustaka Media, 2001), hlm. 77.
[3] Ruhman Ritonga, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, (Surabaya : Amelia, 2005), hlm. 137-141.
[4] Abi Syamsuddin dan Nandang Budiman, Profesi Keguruan 2, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2007), hlm. 413
[5] Zulhimma, Diktat Profesi Keguruan, (Padangsidimpuan : STAIN, tth), hlm. 18.
[6] Ibid., hlm. 4.14-4.15.
[7]Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1999), hlm. 52-53.
s Ne� -5m n � P '>    biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak
    Tuhan.
 
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong  pada
berkembangnya   pemikiran  ilmiah  dan  filosofis  sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,
teologi  tradisional  inilah  yang  berkembang  di dunia Islam
bagian  Timur.  Tidak   mengherankan   kalau   sesudah   zaman
al-Ghazali  ilmu  dan  falsafat tak berkembang lagi di Baghdad
sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah  dan  filsuf-filsuf
Islam.
III.13. FILSAFAT ISLAM                                   (3/3)
oleh Harun Nasution
 
Di  dunia  Islam  bagian  Barat  yaitu di Andalus atau Spanyol
Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang  sesudah
serangan  al-Ghazali  tersebut.  Ibn  Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat  bahwa  bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
 
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn  Yaqzan  malahan
menghidupkan  pendapat  Mu'tazilah  bahwa  akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti  adanya  Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia  berbuat
baik  dan  menjauhi  perbuatan  jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu  pulau,  jauh  dari  masyarakat  manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran  ilmu  dari
Tuhan,  seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
 
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang  buku  Tahafut
al-Tahafut  sebagai  jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
 
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam  tidak  mempunyai
permulaan  dalam  zaman,  konsep  al-Ghazali bahwa alam hadis,
alam  mempunyai  permulaan  dalam  zaman,  menurut  Ibn  Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada
sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain,  di  ketika
itu  berada  dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari
tiada atau nihil.
 
Konsep  serupa  ini,  kata  Ibn  Rusyd,  tidak  sesuai  dengan
kandungan   al-Qur'an.  Didalam  al-Qur'an  digambarkan  bahwa
sebelum  alam  diciptakan  Tuhan,   telah   ada   sesuatu   di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,
 
Dan  Dia-lah  yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
 
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika  Tuhan  menciptakan
langit  dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula,
 
Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
 
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap,  dan  air  serta
uap  adalah  satu.  Selanjutnya  ayat  30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,
 
Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit
dan   bumi  (pada  mulanya)  adalah  satu  dan  kemudian  Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.
 
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan  bumi  pada  mulanya
berasal  dari  unsur  yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
 
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn  Rusyd  menentang  pendapat
al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu  tidak  sesuai  dengan
kandungan  al-Qur'an.  Yang  sesuai dengan kandungan al-Qur'an
sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain.  Di  samping  itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata
Ibn  Rusyd,  menggambarkan  penciptaan  bukan  dari   "tiada,"
seperti  yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti
yang dikatakan para filsuf. Ayat 12  dari  surat  al-Mu'minun,
menjelaskan,  Kami  ciptakan  manusia  dari  inti  sari tanah.
Manusia di  dalam  al-Qur'an  diciptakan  bukan  dari  "tiada"
tetapi  dari  sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti
disebut oleh ayat di  atas.  Filsafat  memang  tidak  menerima
konsep  penciptann  dari  tiada  (creatio ex nihilo). "Tiada,"
kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang  terjadi
ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal
bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah  Tuhan
menjadi  "ada"  dalam  bentuk  bumi. Demikian pula langit. Dan
yang  qadim  adalah  materi  asal.  Adapun  langit  dan   bumi
susunannya adalah baru (hadis).
 
Qadimnya  alam,  menurut  penjelasan  Ibn  Rusyd tidak membawa
kepada politeisme atau ateisme, karena qadim  dalam  pemikiran
filsafat  bukan  hanya  berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti  sesuatu  yang  diciptakan  dalam  keadaan
terus  menerus,  mulai  dari  zaman tak bermula di masa lampau
sampai ke zaman tak berakhir di  masa  mendatang.  Jadi  Tuhan
qadim  berarti  Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta
dan alam qadim berarti alam  diciptakan  dalam  keadaan  terus
menerus  dari  zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun  alam  qadim,  alam  bukan  Tuhan,  tetapi
adalah ciptaan Tuhan,
 
Bahwa  alam  yang  terus  menerus dalam keadaan diciptakan ini
tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
 
Janganlah   sangka  bahwa  Allah  akan  menyalahi  janji  bagi
rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan  di  hari  bumi  ditukar  dengan  bumi  yang  lain dan
(demikian pula) langit.
 
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti,  tegasnya  di  hari
kiamat,  Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit  yang
lain.  Konsep  ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi
dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi  materi
asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini
Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang  lain  lagi.  Bumi
dan  langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan
diciptakan pula bumi dan  langit  yang  lain  dan  demikianlah
seterusnya  tanpa  kesudahan.  Jadi  pengertian  qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai
dengan kandungan al-Qur'an.
 
Dengan  demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan filsuf dalam  filsafat  mereka  tentang  qadimnya
alam.  Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan
pihak  al-Ghazali  sama-sama  memberi  tafsiran  masing-masing
tentang  ayat-ayat  al-Qur'an  mengenai  penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi
pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.
 
Mengenai  masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof  tak
pernah  mengatakan  demikian.  Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka  persoalkan  ialah  bagaimana  Tuhan
mengetahui  perincian  itu.  Perincian  berbentuk  materi  dan
materi  dapat  ditangkap  pancaindra,  sedang  Tuhan  bersifat
immateri dan tak mempunyai pancaindra.
 
Dalam  hal  pembangkitan  jasmani,  Ibn  Rusyd  menulis  dalam
Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut  hal
itu.  Dalam  pada  itu  ia  melihat  adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di  dalam  Tahajut  al-Falasifah  ia
menulis  bahwa  dalam  Islam  tidak ada orang yang berpendapat
adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain  ia
mengatakan,   menurut   kaum   sufi,   yang  ada  nanti  ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
 
Dengan demikian al-Ghazali juga  tak  mempunyai  argumen  kuat
untuk  mengkafirkan  kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang  perincian  di  alam  dan  tidak  adanya
pembangkitan   jasmani.  Ini  bukanlah  pendapat  filsuf,  dan
kelihatannya adalah kesimpulan yang  ditarik  al-Ghazali  dari
filsafat mereka.
 
Dalam  pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan  bahwa  antara  agama  dan   falsafat   tidak   ada
pertentangan,  karena  keduanya  membicarakan  kebenaran,  dan
kebenaran tak berlawanan dengan  kebenaran.  Kalau  penelitian
akal  bertentangan  dengan  teks  wahyu  dalam  al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti  ta'wil  adalah
meningga]kan  arti  lafzi  untuk  pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain,  meninggalkan  arti  tersurat  dan  mengambil  arti
tersirat.  Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
 
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd  mengadakan  harmoni.  Dan
dalam   harmoni   ini   akal   mempunyai   kedudukan   tinggi.
Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan  di  sana
dikenal  dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah
kebenaran  ganda,  yang  mengatakan  bahwa  pendapat  filsafat
benar,   sungguhpun   menurut  agama  salah.  Agama  mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah  yang  menimbulkan
pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.
 
Tak  lama  sesudah  zaman  Ibn  Rusyd  umat  Islam  di Spanyol
mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya
hanya  tinggal  di  sekitar  Granada di tangan Banu Nasr. Pada
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand  dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,
hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia  Islam
bagian barat.
 
Di  dunia  Islam  bagian  timur,  kecuali  di kalangan Syi'ah,
teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat  al-Ghazali  bahwa
jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari  pada  jalan  filsafat.  Hilanglah  pemikiran   rasional,
filosofis  dan  ilmiah  dari dunia Islam sunni sehingga datang
abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan  Eropa  dalam
bidang  pemikiran,  filsafat dan sains, sebagaimana disebut di
atas, berkembang di Barat atas pengaruh  metode  berpikir  Ibn
Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai  ditimbulkan  oleh  pemikir-pemikir  pembaruan   seperti
al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.
Jones, London, Luzac & Co., 1970.
 
Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.
 
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.
 
Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,
1961.
 
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1983.
 
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.
 
Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.
 
Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.
 
O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,
London, Routledge & Kegan Paul, 1964.
 
Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,
1963.

0 komentar:

Posting Komentar