Pages

Subscribe:

Minggu, 03 Juni 2012

Al-Kindi


Al-Kindi (185 – 259 H)


Peradaban Islam memang pernah jaya dan akan jaya kembali. Di masa keemasannya, ilmuwan Islam menguasai dunia lewat berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Nyaris tidak ada cabang ilmu yang tidak dikuasai, bahkan hingga ke teknologi militer sekalipun. Namun barangkali tidak ada yang menyangka bahwa Islam sudah memiliki sosok dan kitab pemecah kode sejak berabad-abad lalu.


Adalah Abu Yusuf Yaqub Ibnu Ishaq Ibnu As-Sabbah Ibnu 'Omran Ibnu Ismail Al-Kindi, atau yang lebih dikenal sebagai Al-Kindi yang melakukannya. Selain dikenal sebagai salah satu filsuf kenamaan Islam, ia juga menulis buku tentang kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam buku yang berjudul Risalah fi Istikhraj al-Mu'amma (Manuscript for the Deciphering Cryptographic Messages) ini, ia menuliskan naskah untuk menguraikan kode-kode rahasia.

Dalam buku ini, Al-Kindi memperkenalkan teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan. Ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia itu serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam bukunya ini ia mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.

Kitabnya mengenai kriptografi sangat mungkin bisa terwujud mengingat dia adalah seorang yang pakar di bidang ilmu hitung/matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern.

Berbicara tentang sistem penomoran, tak bisa dipungkiri peran Al-Khawarizmi di dalamnya. Namun, Al Kindi juga menaruh kontribusi dalam hal ini. Ia juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi.


Pesinggungannya dengan dunia ilmiah di pusat ilmu pengetahuan Islam pada zaman keemasan -- Baghdad -- dimulai saat ia melamar sebagai penulis kaligrafi di akademi paling populer saat itu, House of Wisdom. Bersama Al-Khawarizmi dan Banu Musa bersaudara, ia ditugasi menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab oleh khalifah Al-Makmun.


Dia tak banyak terlibat dalam penerjemahan langsung sebetulnya, karena tugas pokok dia adalah mengedit dan mengoreksi. Al-Kindi sangat mengagumi pemikiran-pemikiran filsuf Yunani-Romawi. Ia sangat terilhami oleh filsuf besar dua Yunani, Socrates dan Aristoteles. Pengaruh dua tokoh ini bisa dilihat dalam karya-karya Al-Kindi di kemudian hari. 



Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages.



Di dalamnya antara lain mengungkapkan : "Satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasanya, adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah. Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya. Kemudian kita lihat teks rahasia yang ingin kita pecahkan, dan mulailah mengklasifikasikan simbol-simbolnya. Kita lalu menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca."


Teknik Al-Kindi ini kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.



Dalam dunia Islam dan dunia pada umumnya, Al-Kindi dikenal sebagai filsuf Arab kenamaan. Karya-karyanya yang luar biasa menempatkannya pada posisi tertinggi di bidang ilmu pengetahuan. Namun meski dikenal sebagai seorang filsuf kenamaan asal Dinasti Abassiyah, ia juga menguasai berbagai cabang ilmu lainnya seperti kedokteran, matematika, musik, astrologi, dan ilmu optik.




Al-Kindi (801-873)




Lahir : Kufa, Arab.
Pekerjaan awal : penerjemah, penulis kaligrafi.
Bidang yang dikuasai : filsafat, kedokteran, musik, astronomi, geografi, matematika, farmakologi, kriptografi.
Karya : 205 buku, antara lain Geometri (32 buku), pengobatan dan filosofi (22 buku), logika (9 buku), fisika (12 buku).
 
 
 
 
III.13. FILSAFAT ISLAM                                   
 
 
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Macedonia,   tapi   juga   menanamkan   kebudayaan  Yunani  di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan  pembauran antara orang-orang  Yunani  yang  dibawanya,  dengan penduduk setempat. Dengan jalan  demikian  berkembanglah  falsafat  dan ilmu   pengetahuan  Yunani  di  Timur  Tengah,  dan  timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti  Iskandariah  (dari  nama Aleksander)   di  Mesir,  Antakia  di  Suria,  Selopsia  serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
 
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah  tersebut  terjadi  peperangan  antara  kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di  Mesir,  Suria  serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan  Islam  dalam  peperangan  tersebut, jatuh  ke  bawah  kekuasaan  Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan  dalam  agama dan   bahwa   kewajiban   orang   Islam   hanya   menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi,  tidak  dipaksa  para  sahabat untuk  masuk-Islam.  Mereka  tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
 
Dari warga negara non Islam  ini  timbul  satu  golongan  yang tidak  senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun  menyerang  agama  Islam  dengan memajukan  argumen-argumen  berdasarkan  falsafat  yang mereka peroleh  dari  Yunani.  Dari  pihak  umat  Islam  timbul  satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis  pula.  Untuk itu  mereka  pelajari  filsafat  dan  ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal  yang  tinggi  dalam  pemikiran  Yunani  mereka jumpai   sejalan  dengan  kedudukan  akal  yang  tinggi  dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
 
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran  Islam teologi  rasional  yang  dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah:
 
 1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu.
    
 2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam  kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
    
 3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
 
Teologi rasional  Mu'tazilah  inilah,  dengan  keyakinan  akan kedudukan  akal  yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat  dan  adanya  hukum  alam  ciptaan  Tuhan,  yang membawa  pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
 
Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi,  (796-873M) satu-satunya   filsuf   Arab  dalam  Islam.  Ia  dengan  tegas mengatakan  bahwa  antara   filsafat   dan   agama   tak   ada pertentangan.  Filsafat  ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al bahs'an al-haqq). Agama  dalam  pada  itu  juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat  dalam  pembahasannya  memakai  akal  dan agama,  dan  dalam  penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional.
 
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang  Benar  Pertama"  (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah  Tuhan.  Filsafat  dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam  pendapat  Al-Kindi  adalah  filsafat   ketuhanan   atau teologi.  Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah  haram  dan tidak dilarang, tetapi wajib.
 
Dengan  filsafat  "al-Haqq  al-Awwal"nya,  al-Kindi,  berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari  arti  banyak.  Al-haqiqah  atau kebenaran,  menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya,  yaitu  sesuainya konsep  dalam  akal  dengan  benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat  itu  sendiri,  tetapi  yang  penting adalah  hakikat  dari  juz'iat  itu  sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman,  universals).
Tiap-tiap  benda  mempunyai  hakikat  sebagai  juz'i  (haqiqah jaz'iah)  yang  disebut  aniah  dan  hakikat  sebagai   kulli, (haqiqah  kulliah)  yang  disebut  mahiah,  yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.
 
Memurnikan tauhid memang masalah  penting  dalam  teologi  dan filsafat  Islam.  Dalam  hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta  alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya yang tak dapat dihitung banyaknya itu,  di  dalam  diri  Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa,  agar  menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
 
Pemurnian  tauhid  inilah  yang  menimbulkan  filsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari al-Farabi.  Yang  Maha  Esa  berfikir tentang  diriNya  yang  esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan  daya yang   dahsyat,   maka  daya  itu  menciptakan  sesuatu.  Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal  I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
 
Dalam  diri  yang  esa  atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek  pemikiran  Akal  I  adalah  Tuhan  dan  dirinya sendiri.  Pemikirannya  tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II  juga  mempunyai  obyek  pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III  dan pemikirannya   tentang   dirinya   sendiri  menghasilkan  Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan  Akal  dan  berpikir  tentang dirinya sendiri dan menghasilkan  planet-planet.  Dengan   demikian   diperolehlah gambaran berikut:
 
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
 
Pemikiran Akal X tidak  cukup  kuat  lagi  untuk  menghasilkan Akal.
 
Demikianlah  gambaran  alam  dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas  sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak  ada  lagi  planet  yang  akan diurusnya.  Memang  tiap-tiap  Akal  itu  mengurus planet yang diwujudkannya.  Akal  dalam  pendapat  filsuf   Islam   adalah malaikat.
 
Begitulah   Tuhan  menciptakan  alam  semesta  dalam  falsafat emanasi  al-Farabi.  Tuhan  tidak  langsung  menciptakan  yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan  demikianlah  seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
 
Tuhan  tidak  langsung  berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri  Tuhan  tidak  terdapat arti  banyak,  dan  inilah  tauhid  yang  murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina  dan  filsuf-filsuf  Islam  yang  menganut paham emanasi.
 
Alam  dalam  filsafat  Islam  diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi  asal  yaitu  api,  udara,  air  dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang  telah  ada. Maka  materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
 
Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa  yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan  lain kata  Akal  I,  Akal  II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara,  air  dan  tanah  adalah  pula  qadim.  Dari sinilah   timbul   pengertian   alam   qadim,   yang  dikritik al-Ghazali.
 
 
Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula  soal  jiwa  manusia  yang  dalam  falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini  adalah  pemikiran yang  diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:
 
 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
    tumbuh dan berkembang biak.
    
 2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah
    dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan
    pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
    pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra
    dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
    
     i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang
        diperoleh pancaindra.
        
    ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar
        dari materi.
        
    iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
        
    iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang
        terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
        
     v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
    
 3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu
    berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
    
     a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam
        jiwa binatang.
        
     b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
 
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam  materi,  sedang akal  teoritis  kepada  alam  metafisik.  Dalam  diri  manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang  terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak  meneruskan arti-arti,  yang  diterimanya ari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis.  Tetapi  kalau  ia  teruskan  akal
teoritis akan berkembang dengan baik. 
 
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
 
 1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
    
 2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
    
 3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
    
 4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
 
Akal  tingkat  keempat  inilah  yang  tertinggi  dan  dimiliki filsuf-filsuf.  Akal  inilah  yang  dapat  menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
 
Sifat seseorang banyak bergantung pada  jiwa  mana  dari  tiga yang  tersebut  di  atas  berpengaruh  pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan  dalam hal  ini  akal  praktis  mempunyai  malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya  tidak  menjadi  halangan  bagi  akal  praktis  untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
 
Setelah tubuh  manusia  mati,  yang  akan  tinggal  menghadapi perhitungan   di   depan   Tuhan  adalah  jiwa  manusia.  Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
 
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa  berhajat kepada  badan  manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas,  yang  pada  mulanya  menolong  akal   untuk   menangkap arti-arti.  Makin  banyak  arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap  arti-arti  murni.  Kalau akal  sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
 
Jiwa  tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai  fungsi-fungsi  fisik  seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di  akhirat.
Jiwa  manusia,  berlainan  dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak  berkaitan  dengan  yang  bersifat  fisik  tetapi   yang
bersifat  abstrak  dan  rohani.  Karena  itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia,  tetapi  di  akhirat.  Kalau  jiwa
tumbuh  tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah
kekal. Jika ia telah mencapai  kesempurnaan  sebelum  berpisah
dengan  badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum  sempurna  ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.
 
Dari   paham   bahwa  jiwa  manusialah  yang  akan  menghadapi
perhitungan  kelak  timbul  faham  tidak  adanya  pembangkitan
jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.
 
Demikianlah   beberapa  aspek  penting  dari  falsafat  Islam.
Pemurnian konsep  tauhid  membawa  al-Kindi  kepada  pemikiran
Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins)  serta  diferensiasi  (al-fasl).   Sebagai   seorang
Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.
 
Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada  falsafat  emanasi
yang  di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula
dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena
Tuhan  dalam  filsafat  emanasi tak boleh berhubungan langsung
dengan yang banyak dan hanya  berfikir  tentang  diriNya  Yang
Maha   Esa,  timbul  pendapat  bahwa  Tuhan  tidak  mengetahui
juz'iat, yaitu  perincian  yang  ada  dalam  alam  ini.  Tuhan
mengetahui  hanya  yang  bersifat universal. Karena akal I, II
dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I,  II
dan  seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan
yang terjadi di alam ini.  Karena  inti  manusia  adalah  jiwa
berfikir  untuk  memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani
tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung  dalam  bidang
sains  para  filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam.
 
Inilah  sepuluh  dari   duapuluh   kritikan   yang   dimajukan
al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.
Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa  mereka
kepada kekufuran, yaitu:
 
    1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
    
    2. Pembangkitan jasmani tak ada
    
    3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
 
Konsep alam qadim  membawa  kepada  kekufuran  dalam  pendapat
al-Ghazali  karena  qadim  dalam filsafat berarti sesuatu yang
wujudnya tidak mempunyai permulaan  dalam  zaman  yaitu  tidak
pernah  tidak  ada  di  zaman  lampau.  Dan  ini berarti tidak
diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka  syahadat
dalam  teologi  Islam  adalah:  la qadima, illallah, tidak ada
yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim,  maka  alam  adalah
pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham
syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut
tak dapat diampuni Tuhan.
 
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta
yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme.  Politeisme  dan
ateisme  jelas  bertentangan  sekali dengan ajaran dasar Islam
tauhid  yang  sebagaimana  dilihat   di   atas   para   filsuf
mengusahakan  Islam  memberikan  arti semurni-murninya. Inilah
yang mendorong  al-Ghazali  untuk  mencap  kafir  filsuf  yang
percaya bahwa alam ini qadim.
 
Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan
teks   ayat-ayat   dalam   al-Qur'an   menggambarkan    adanya
pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin
"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh  ini?.
Katakanlah:   Yang  menghidupkan  adalah  Yang  Menciptakannya
pertama  kali."  Maka  pengkafiran  di  sini   berdasar   atas
berlawanannya   falsafat  tidak  adanya  pembangkitan  jasmani
dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
 
Pengkafiran tentang masalah  ketiga,  Tuhan  tidak  mengetahui
perincian  yang  ada  di  alam  juga  didasarkan  atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan  teks  ayat  dalam  al-Qur'an.
Sebagai  umpama  dapat  disebut  ayat  59 dari surat al-An'am:
Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.
 
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian
timur   dengan   Baghdad   sebagai  pusat  pemikiran  menjauhi
falsafat.  Apalagi  di  samping  pengkafiran  itu   al-Ghazali
mengeluarkan  pendapat  bahwa  jalan sebenarnya untuk mencapai
hakikat bukanlah  filsafat  tetapi  tasawuf.  Dalam  pada  itu
sebelum  zaman  al-Ghazali  telah  muncul  teologi  baru  yang
menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh  al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh  sebab-sebab  yang  belum  begitu
jelas   ia  meninggalkan  paham  Mu'tazilahnya  dan  munculkan
sebagai  lawan  dari  teologi  Mu'tazilah  teologi  baru  yang
kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.
 
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari
bercorak  tradisional.  Corak  tradisionalnya   dilihat   dari
hal-hal
 
 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah
    sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti
    lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti
    tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan
    pemikiran ilmiah dan filosofis.
    
 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini
    merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang
    belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi
    masih banyak bergantung pada orang lain untuk
    membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan
    paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada
    kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
    statis.
    
 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari
    paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini
    diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan
    menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum
    alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah
    kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak
    sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi
    biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak
    Tuhan.
 
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong  pada
berkembangnya   pemikiran  ilmiah  dan  filosofis  sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,
teologi  tradisional  inilah  yang  berkembang  di dunia Islam
bagian  Timur.  Tidak   mengherankan   kalau   sesudah   zaman
al-Ghazali  ilmu  dan  falsafat tak berkembang lagi di Baghdad
sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah  dan  filsuf-filsuf
Islam.
III.13. FILSAFAT ISLAM                                   (3/3)
oleh Harun Nasution
 
Di  dunia  Islam  bagian  Barat  yaitu di Andalus atau Spanyol
Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang  sesudah
serangan  al-Ghazali  tersebut.  Ibn  Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat  bahwa  bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
 
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn  Yaqzan  malahan
menghidupkan  pendapat  Mu'tazilah  bahwa  akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti  adanya  Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia  berbuat
baik  dan  menjauhi  perbuatan  jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu  pulau,  jauh  dari  masyarakat  manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran  ilmu  dari
Tuhan,  seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
 
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang  buku  Tahafut
al-Tahafut  sebagai  jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
 
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam  tidak  mempunyai
permulaan  dalam  zaman,  konsep  al-Ghazali bahwa alam hadis,
alam  mempunyai  permulaan  dalam  zaman,  menurut  Ibn  Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada
sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain,  di  ketika
itu  berada  dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari
tiada atau nihil.
 
Konsep  serupa  ini,  kata  Ibn  Rusyd,  tidak  sesuai  dengan
kandungan   al-Qur'an.  Didalam  al-Qur'an  digambarkan  bahwa
sebelum  alam  diciptakan  Tuhan,   telah   ada   sesuatu   di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,
 
Dan  Dia-lah  yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
 
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika  Tuhan  menciptakan
langit  dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula,
 
Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
 
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap,  dan  air  serta
uap  adalah  satu.  Selanjutnya  ayat  30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,
 
Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit
dan   bumi  (pada  mulanya)  adalah  satu  dan  kemudian  Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.
 
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan  bumi  pada  mulanya
berasal  dari  unsur  yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
 
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn  Rusyd  menentang  pendapat
al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu  tidak  sesuai  dengan
kandungan  al-Qur'an.  Yang  sesuai dengan kandungan al-Qur'an
sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain.  Di  samping  itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata
Ibn  Rusyd,  menggambarkan  penciptaan  bukan  dari   "tiada,"
seperti  yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti
yang dikatakan para filsuf. Ayat 12  dari  surat  al-Mu'minun,
menjelaskan,  Kami  ciptakan  manusia  dari  inti  sari tanah.
Manusia di  dalam  al-Qur'an  diciptakan  bukan  dari  "tiada"
tetapi  dari  sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti
disebut oleh ayat di  atas.  Filsafat  memang  tidak  menerima
konsep  penciptann  dari  tiada  (creatio ex nihilo). "Tiada,"
kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang  terjadi
ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal
bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah  Tuhan
menjadi  "ada"  dalam  bentuk  bumi. Demikian pula langit. Dan
yang  qadim  adalah  materi  asal.  Adapun  langit  dan   bumi
susunannya adalah baru (hadis).
 
Qadimnya  alam,  menurut  penjelasan  Ibn  Rusyd tidak membawa
kepada politeisme atau ateisme, karena qadim  dalam  pemikiran
filsafat  bukan  hanya  berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti  sesuatu  yang  diciptakan  dalam  keadaan
terus  menerus,  mulai  dari  zaman tak bermula di masa lampau
sampai ke zaman tak berakhir di  masa  mendatang.  Jadi  Tuhan
qadim  berarti  Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta
dan alam qadim berarti alam  diciptakan  dalam  keadaan  terus
menerus  dari  zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun  alam  qadim,  alam  bukan  Tuhan,  tetapi
adalah ciptaan Tuhan,
 
Bahwa  alam  yang  terus  menerus dalam keadaan diciptakan ini
tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
 
Janganlah   sangka  bahwa  Allah  akan  menyalahi  janji  bagi
rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan  di  hari  bumi  ditukar  dengan  bumi  yang  lain dan
(demikian pula) langit.
 
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti,  tegasnya  di  hari
kiamat,  Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit  yang
lain.  Konsep  ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi
dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi  materi
asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini
Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang  lain  lagi.  Bumi
dan  langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan
diciptakan pula bumi dan  langit  yang  lain  dan  demikianlah
seterusnya  tanpa  kesudahan.  Jadi  pengertian  qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai
dengan kandungan al-Qur'an.
 
Dengan  demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan filsuf dalam  filsafat  mereka  tentang  qadimnya
alam.  Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan
pihak  al-Ghazali  sama-sama  memberi  tafsiran  masing-masing
tentang  ayat-ayat  al-Qur'an  mengenai  penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi
pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.
 
Mengenai  masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof  tak
pernah  mengatakan  demikian.  Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka  persoalkan  ialah  bagaimana  Tuhan
mengetahui  perincian  itu.  Perincian  berbentuk  materi  dan
materi  dapat  ditangkap  pancaindra,  sedang  Tuhan  bersifat
immateri dan tak mempunyai pancaindra.
 
Dalam  hal  pembangkitan  jasmani,  Ibn  Rusyd  menulis  dalam
Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut  hal
itu.  Dalam  pada  itu  ia  melihat  adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di  dalam  Tahajut  al-Falasifah  ia
menulis  bahwa  dalam  Islam  tidak ada orang yang berpendapat
adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain  ia
mengatakan,   menurut   kaum   sufi,   yang  ada  nanti  ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
 
Dengan demikian al-Ghazali juga  tak  mempunyai  argumen  kuat
untuk  mengkafirkan  kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang  perincian  di  alam  dan  tidak  adanya
pembangkitan   jasmani.  Ini  bukanlah  pendapat  filsuf,  dan
kelihatannya adalah kesimpulan yang  ditarik  al-Ghazali  dari
filsafat mereka.
 
Dalam  pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan  bahwa  antara  agama  dan   falsafat   tidak   ada
pertentangan,  karena  keduanya  membicarakan  kebenaran,  dan
kebenaran tak berlawanan dengan  kebenaran.  Kalau  penelitian
akal  bertentangan  dengan  teks  wahyu  dalam  al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti  ta'wil  adalah
meningga]kan  arti  lafzi  untuk  pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain,  meninggalkan  arti  tersurat  dan  mengambil  arti
tersirat.  Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
 
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd  mengadakan  harmoni.  Dan
dalam   harmoni   ini   akal   mempunyai   kedudukan   tinggi.
Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan  di  sana
dikenal  dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah
kebenaran  ganda,  yang  mengatakan  bahwa  pendapat  filsafat
benar,   sungguhpun   menurut  agama  salah.  Agama  mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah  yang  menimbulkan
pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.
 
Tak  lama  sesudah  zaman  Ibn  Rusyd  umat  Islam  di Spanyol
mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya
hanya  tinggal  di  sekitar  Granada di tangan Banu Nasr. Pada
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand  dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,
hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia  Islam
bagian barat.
 
Di  dunia  Islam  bagian  timur,  kecuali  di kalangan Syi'ah,
teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat  al-Ghazali  bahwa
jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari  pada  jalan  filsafat.  Hilanglah  pemikiran   rasional,
filosofis  dan  ilmiah  dari dunia Islam sunni sehingga datang
abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan  Eropa  dalam
bidang  pemikiran,  filsafat dan sains, sebagaimana disebut di
atas, berkembang di Barat atas pengaruh  metode  berpikir  Ibn
Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai  ditimbulkan  oleh  pemikir-pemikir  pembaruan   seperti
al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.
Jones, London, Luzac & Co., 1970.
 
Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.
 
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.
 
Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,
1961.
 
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1983.
 
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.
 
Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.
 
Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.
 
O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,
London, Routledge & Kegan Paul, 1964.
 
Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,
1963.

0 komentar:

Posting Komentar