A. Buruk Sangka.
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Raulullah saw, bersabda : “Jauhilah oleh kalian berprasangka, karena sesungguhnya berprasangka merupakan sedusta-dusta pembicaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Buruk sangka atau syu`udzon adalah kebalikan dari baik sangka atau husnu dzon. Buruk sangka merupakan salah satu penyakit jiwa, dan termasuk pula sifat tercela. Orang yang dihinggapi penyakit buruk sangka selalu curiga terhadap orang lain. Jika ada orang lain sedang bercakap-cakap lalu disangka sedang mempercakapkan keadaan dirinya. Jika ada orang yang mendapat keuntungan disangkanya orang itu memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang tidak baik. Jika ia melihat teman sekelasnya memperoleh nilai yang baik dalam ulangan atau ujian, dituduh temannya itu menyontek, atau dituduhnya guru itu pilih kasih dalam memberi nilai dan sebagainya. Buruk sangka adalah berbuatan dosa, sebagaimana dalam surat At-taubah : 12
Artinya : Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (At-Taubah : 12)
Rasulullah juga melarang kita berburuk sangka sebagaimana sabda Nabi yang sudah dituliskan di atas. Sifat buruk sangka membuat orang selalu gelisah, senantiasa diliputi perasaan waswas dan curiga kepada orang lain. Orang yang berburuk sangka biasanya sulit bekerja dengan orang lain, karena semua dianggap salah dan curang. Sebenarnya hal yang demikian itu hanya perasaannya saja, karena ia menganggap orang lain seperti dia yang selalu curiga. Bahkan selanjutnya buruk sangka ini dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.[2]
Dan tidak selayaknya kita menyangka yang tidak-tidak terhadap sesama orang muslim, kecuali jika terungkap suatu bukti yang tidak memerlukan takwil lagi atau ada orang yang dapat dipercaya menyampaikan kabar kepadamu dan hatimu yakin benar terhadap kejujurannya. Sebab jika engkau tidak mempercayai pengabarannya, berarti engkau juga berburuk sangka kepada orang yang mengabarkan kepadamu.
Ketahuilah bahwa buah dari buruk sangka adalah mencari-cari kesalahan. Sebab hati tidak akan merasa puas hanya dengan berburuk sangka, tetapi ia akan mencari kebenarannya, sehingga dia sibuk mencari-cari kesalahan. Hal ini dilarang karena bisa menjurus kepada perbuatan membuka aib orang lain.
Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan buruk sangka adalah curiga yang berlebihan, menaruh prasangka, dan kurang mempercayai kebenaran atas bukti, fakta dan sebagainya.
Untuk menghindari sifat buruk sangka hendaknya kita membiasakan diri menganggap bahwa semua orang itu pada dasarnya baik. Jika ada orang sedang bercakap-cakap yakinlah bahwa mereka sedang mempercakapkan suatu yang baik. Jika teman kita memperoleh keberuntungan, hendaklah kita turut gembira dan ucapkan selamat kepadanya.
B. Ghibah dan Buhtan
Ghibah artinya mengatakan sesuatu tentang seseorang yang orang itu sendiri tidak senang kalau keadaannya diceritakan atau diketahui orang lain.[3]
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : “Bersabda Rasulullah saw, “Tahukah kamu apa itu ghibah? Mereka (para sahabat menjawab), “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Lalu beliau bersabda : “Kamu mengumpat saudaramu semua tidak kamu sukai”. Kemudia ada seorang dari sahabat yang bertanya : “Pernahkah tuan melihat”? “Bagaimana bila ada pada saudaraku itu memang ada yang tuan katakana itu” ? Jawab beliau : “Jika pada saudaramu itu terdapat sesuatu yang kamu katakana, maka itulah yang disebut “Ghibah”, dan jika tidak ada, maka itu namanya “Buhtan” yaitu dusta”.
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim).[4]
Dari hadits tersebut dapatlah diketahui / dimengerti ghibah (umpat) atau disebut juga mengunjing adalah membuka cela seseorang dihadapan umum, dengan kata lain membongkar rahasia orang dihadapan umum atau masyarakat, apakah itu di lingkungan keluarga, di pasar, di tempat-tempat bekerja, di sekolah dan lain-lain. Dengan catatan yang dikatakan atau yang diceritakan tidak ada pada seseorang tersebut maka itulah yang dikatakan dengan “ghibah”, dan jika yang dikatakan atau yang diceritakan tidak ada pada seseorang tersebut maka itulah yang dikatakan dengan “buhtan”.
Kedua sifat ini sangat berbahaya bagi kehidupan dan ketentraman masyarakat. Ghibah membehayakan ketentraman dan kerukunan hidup bermasyarakat, karena setiap orang tidak mau dipandang cacat atau cela.
Ghibah (umpat) baik yang melakukan sendiri maupun yang mendengarnya sama haram hukumnya. Begitu pula baik dengan kata-kata terang maupun sindiran, dengan isyarat gerakan ataupun yang dimaksud untuk membuka rahasia dan merendahkan kehormatan orang adalah haram juga hukumnya. Karena itu apabila terlibat kebetulan suatu percakapan yang bersifat ghibah hendaklah kita menghindarkannya.
Buhtanpun merupakan perbuatan yang sangat tercela dan paling jahat, sebab buhtan lebih buruk lagi dengan ghibah.
Firman Allah swt :
ﺍﻭﺑﻳﺻﺘ ﻥﺍ ﺍﻭﻧﻳﺒﺘﻔ ﺀﺎﺑﻧﺒ ﻖﺳ ﺎﻓ ﻡﻜ ﺀﺎﺠ ﻥ ﺍ ﻮﻧﻣ ﺍ ﻦﻴ ﺫﻠﺍ ﺎﻬﻴﺍﺎﻳ
( ٧: ﺖﺍﺭﺟﺤﻠ ﺍ ) ﻦﻳﻣ ﺪﻧ ﻡﺘﻠﻌﻓ ﺎﻣ ﻰﻠﻋﻭﺣﺑﺻﺘﻔ ﺔﻟ ﺎﻬﺟﺑ ﺎﻤﻮﻗ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa sesuatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu “.
Apabila kita didatangi orang dengan membawa kabar bertendensi (bertujuan) membubarkan orang lain, maka kita hendaknya :
- Tidak mempercayai begitu saja kabar itu.
- Melarang dia dan menasehati, bahwa pekerjaannya itu tidak baik.
- Jangan terus memburuk sangka terhadap teman yang diberitakan itu.
- Jangan meniru perbuatan jahat seperti itu.
Firman Allah dalam surat Al-Hujrat ayat 6 tersebut menjelaskan agar kita teliti lebih dahulu terhadap semua kabar, apalagi buhtan itu akan lebih dekat dengan permusuhan.
C. Larangan Berbuat Boros
Artinya :
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya ia berkata : Rasullah saw, bersabda : “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah dengan tidak berlebih-lebihan dan tanpa kesombongan.” (HR.Abu Daud dan Ahmad)
Dari Abi Karimah Al-Miqdad ibni Ma’dikarib ra, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda : “Tidak ada bejana yang lebih jelek daripada perut yang diisi dengan beberapa suap makanan yang akan menegakkan tulang rusuknya, karena fungsi perut serpertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas.” (HR. Al-Turmudzi)
Dari dua hadits di atas memberi pelajaran kepada kita agar selalu berbuat hemat dalam segala hal, baik dalam hal makanan, minuman maupun berpakaian. Bahkan ketika kita memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain maka kita harus tetap bersikap tidak boros. Artinya ketika hendak bersedekah maka kita harus memikirkan sudahkah keperluan anak, istri dan orang yang menjadi tanggungan kita penuhi ? kalau sudah terpenuhi, barulah bersedekah dengan tidak mengganggu ketentraman kehidupan keluarga kita.
Begitu juga dalam hal makanan dan minuman, umat islam hendaknya dapat mengatur kesehatan fisiknya melalui cara makan dan minum yang benar menurut ajaran islam, cara tersebut adalah dengan tidak mengisi seluruh perut dengan makanan dan minuman.
Sebagaimana firman Allah Q.S Al-Isra` : 26-27
Artinya :
26.“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan ; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
27. “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar membelanjakan harta (uang) yang mereka miliki untuk hal-hal yang bermanfaat, misalnya untuk membantu keluarga dekat, orang-orang miskin, agar hubungan antara sesama lebih akrab.
Allah juga memperingatkan bahwa orang-orang yang membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak berguna (boros) merupakan saudara syetan. Syetan adalah makhluk yang sangat ingkar terhadap karunia yang Allah berikan dan senantiasa menantang segala ketentuan syara` serta mengajak manusia untuk berbuat dosa. Dengan demikian, orang-orang yang tidak dapat memanfaatkan dan membelanjakan harta sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah Allah gariskan, termasuk ke dalam kelompok makhluk yang enggan mensyukuri nikmat dan menentang segala ketentuan yang diundangkan oleh zat pemberi nikmat tersebut.
Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa boros adalah pemakaian barang atau uang secara berlebih-lebihan, tidak ekonomis, dan berlebih-lebihan, serta menghambur-hamburkan harta secara boros, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan orang lain.
[1]Imam Nawawi. Terjemahan Riyadhus Shalihn, jilid 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 1994), hlm. 463
[2]Masan Alfat, dkk. Aqidah Akhlak, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 1995), hlm. 176
[3]Muklis, dkk. (Bandung : CV. Armico, 1987), hlm. 122
[4]Alhafizh Ibn Hajar. Terjemahan Bulugul Maram, (Semarang : CV Toha Putra, 1985), hlm. 766
0 komentar:
Posting Komentar