Pages

Subscribe:

Rabu, 30 Januari 2013

ijtihad/ ijma ulama


IJTIHAD DAN IJMA’

I.             Tujuan Umum Dan Tujuan Khusus
                        Setelah mempelajari Bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang ijtihad sebagai sumber hukum islam yang ketiga.secara praktis dan spesifik mahasiswa juga diharapkan mampu menjelaskan pengertian ijtihad secara etimologis dan terminologis, mampu             menyebutkan dan menjelaskan syarat-syarat dan hukum-hukum ijtihad,mampu menyebutkan fungsi dan kedudukan ijtihad ,serta mampu membandingkan perbedaan antara ijtihad dengan ijma”,qiys,istihsan,istihsab,dan maslahan mursalah.

II.          Ijtihad
A.          Pengertian ijtihad
                                    Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadanyang berarti bersungguh-sungguh,rajin,giat.   Sedangkan secara etimmologis ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menetapkan hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadist.
                        Menurut imam al Ghajali ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari kitab dan sunnah.Banyak masalah yang belum ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah,sehingga umat muslim diberi kebebasan untuk menggunakan daya pikirnya dalam rangka manginterprestasi dan menentukan hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
                                    Dalam Q.S An-nisa ayat 105 Allah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”. Nabi muhammad saw juga bersabda “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad,kemudian ia benar,maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad namun salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
                                    Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak ditemukan hukumnya didalam Al-qur’an dan Hadist.Misalnya tentang niat shalat,para ulama sepakat bahwa shalat tidak sah tanpa ada niat.Hasil ijtihad suatu masalah,antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin berbeda.hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang ,berbedanya kondisi masyarakat,dan berbedanya latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki.Seperti Mazhab Maliki dan Syafi’i menetapkan bahwa niat merupakan rukun shalat.Sedangkan menurut Mazhab Hanafi dan Hambali menetapkan bahwa niat merupakan salah satu syarat shalat.
                                    Hasil ijthad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin berbeda. Disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang terhadap suatu masalah yang dicarikan hukumnya, berbedanya kondisi masyarakat, dan berbedanya latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki.

B.           Hukum Ijtihad
                        Hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi;
·        Pardhu A’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya dan jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
·        Pardhu Kifayah untuk berijtihad jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya.
·        Sunnah apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
·        Haram apabila berijtihad terhadap permasalhan yang sudah ditetapkan secara Qat’I, sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara.
C.           Syarat-syarat Ijtihad
                        Muslim yang melakukan ijtihad di sebut mujtahid, agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. yusuf Al-qardawi (ahli usul dan fikih), menjelaskan bahwa persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah:
·        Memahami Al-qur’an dan asbabun nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Alqur’an ), serta ayat-ayat Nasikh (yang menghapus hukum) dan Mansukh (yang dihapus)
·        Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya (munculnya hadits-hadits), serta memahami hadits-hadits nasikh dan mansukh
·        Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa arab
·        Mengetahui tempat-tempat ijmak
·        Mengetahui usul fikih
·        Mengetahui maksud-maksud syariat
·        Memahami masyarakat dan adat istiadatnya, bersifat adil dan taqwa

Selain delapan syarat tersebut beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi , yaitu:
·         Mendalami ilmu Ushuluddin (ilmu tentang akidah islam )
·         Memahami ilmu mantik (logika ),
·         Mengetahui cabang-cabang fikih



D.           Tingkatan-Tingkatan mujtahid
                        Secara umum tingkatan mujtahid dapat dikelompokkan menjadi;
·        Mujtahid Mutlak atau mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara', dengan tanpa terikat kepada mazhab apapun. (mujtahid fard /perseorangan).
·         Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu mazhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh mazhab tersebut.
·         Mujtahid Fil Mazahib, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya mengikuti kaidah yang digunakan oleh imam mazhabnya dan ia juga mengikuti imam mazhabnya dalam masalah furu'. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh imam mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri.
·        Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabnya.

E.           Fungsi Ijtihad dalam Islam
                        Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits.
                        Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari agama, akidah ataupun dari syari`at. Ini adalah metode Islam ketika kita mencermati metode Asbab Al-nuzul (konteks sosial atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nasikh wa al-mansukh (ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus).
                        Asbab al-nuzul berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks, memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-ayat wa yas`alunaka `anil khamr (mereka bertanya kepadamu mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alunaka `anil mahid (menstruasi), wa yas`alunaka `anil anfal.. dst. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercantum secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.

F.           Bentuk-Bentuk Ijtihad
                        Ijtihad dibedakan menjadi beberapa bentuk di antaranya adalah, ijma', qisy, istihsan istihsab, dan Maslahah Mursalah.
·        Ijma', yaitu kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu masalah yang tidak   diterangkan dalam Al-Qur'an dan Hadist setelah Rasulullah saw wafat , yang dilakukan dengan cara musyawarah.
·        Qiyas, yaitu menganalogi atau menyamakan permasalahan yang terjadi dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya karena ada kesamaan sifat atau alasan.
·         Istihsan, yaitu menetapkan suatu hukum suatu masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur'an dan Hadist, yang didasarkan atas kepentingan/kemaslahatan umum.
·        Intiqai, yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan meneliti dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
·        Insyai, yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
·        Istihsab, yaitu meneruskan berlakunya hukum yang telah ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut
·        Maslahah mursalah, yaitu perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan sesuai dengan maksud syara' dan hukumnya tidak diperoleh dari dalil secara langsung dan jelas.

III.       Ijma’
A.           Pengertian Ijma’
                        Ijma’ menurut bahasa adalah ”sepakat atas sesuatu ”, sedangkan ijma’ secara istilah para ulama Ushul fiqh adalah kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah rasulullah wafat atas hukum syara’ pada peristiwa yang terjadi. Dalam difinisi tersebut bahwa ijma’ baru akan terbentuk apabila ada kesepakatan dari para ulama, dan waktunya sesudah wafat Nabi Muhammad karena pada masa Nabi masih hidup ketetapan hukum langsung merujuk kepadanya akan tetapi setelah beliu wafat harus ada kesepakan dari beberapa ulama.

B.           Rukun Ijma’
·         Adanya beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa tertentu
·         Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu perkara hukum pada waktu terjadinya tampa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka
·         Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau perbuatan
·         Kesepatan dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir, apabila hanya sebagian saja dari mereka maka tidak terjadi ijma’. Menurut Abdul Wahab Khalaf ijma ’ tidak mungkin terjadi apabila diserahkan hanya kepada seseorang, dan munkin terjadi apabila diserahkan kepada pemerintah islam, masing-masing ditanya pendapatnya, dan mujtahid mengukapkan pendapatnya dan kebetulan pendapatnya mereka sama, maka pendapat itu menjadi ijma’ dan hukum di ijma’kan itu menjadi hukum syara’ yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin.



C.          Macam-macam ijma’
·         Al-Ijma’ As Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapatnya masing secar jelas, baik dengan perkatan ataupun dengan tulisan atau dengan perbuatan.
·         Al-Ijma’ As Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau karena malu, akan tetapi diamnya itu karena karena betul-betul tidak menangapi atas pendapat yang lain, baik menyetujuai atau menolaknya

D.          Kedudukan dan kehujjahanya.
                     Para ulama menetapkam bahwa kedudukan ijma’ sebagai hujjah terletak dibawah deretan Al Qura’an dan As Sunah. Ijma tidak boleh menyalahi nas yang qat’i jumhur. Ulama mengatatakan bahwa hanya ijma’ sharih saja dapat dijadikan sebagi hujah syari’ah, akan tetapi ulama hanafiah menbolehkan hujah sukuti sebagai menjadi hujjah. Kebanyakan ulama berpendapat nilai kehujjahan ijma’ adalah dzanni.




0 komentar:

Posting Komentar