BAB 1
PERBEDAAN INDIVIDU DALAM BELAJAR MENGAJAR
1.1 Latar Belakang
Dari beberapa aspek perkembangan individu, ada dua fakta yang menonjol, yaitu (1) semua manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan di dalam pola perkembangannya dan (2) di dalam pola yang bersifat umum yang membentuk sifat manusia secara biologis dan sosial, tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif.
Seorang guru setiap tahun ajaran baru selalu menghadapi siswa-siswi yang berbeda satu sama lain. Siswa-siswi yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorang pun yang sama. Mungkin ada satu atau dua orang yang terlihat hampir sama atau mirip, akan tetapi pada kenyataannya jika diamati benar-benar antara keduanya tentu terdapat perbedaan. Perbedaan yang segera dapat dikenal oleh seorang guru tentang siswanya adalah perbedaan fisiknya, seperti tinggi badan, bentuk badan, wurna kulit, bentuk muka, dan semacamnya. Dari fisiknya seorang guru cepat mengenal siswa di kelasnya satu per satu. Ciri lain yang segera dapat dikenal adalah tingkah laku masing-masing siswa, begitu pula suara mereka. Ada siswa yang lincah, banyak gerak, pendiam, dan sebagainya. Ada siswa yang nada suaranya kecil dan ada yang besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang pelan-pelan. Apabila ditelusuri secara cermat siswa yang satu dengan yang lain memiliki sifat psikis yang berbeda-beda.
Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu sebelum dilakukan pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah adalah menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam tugas-tugas sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur. Selanjutnya ada anggapan bahwa semua anak diharapkan mampu menangkap/ mengerti bahan-bahan pelajaran yang mempunyai kesamaan materi dan penyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama. Ketidak-mampuan yang jelas tampak pada siswa untuk menguasai bahan pelajaran, umumnya dijelaskan dengan pengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras kepala. Penjelasan itu tidak mendasarkan kenyataan bahwa para siswa memang berbeda dalam hal kemampuan mereka untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran dan mungkin berada dalam satu tingkat perkembangan.
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf intreligensinya semakain baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian pula sebaliknya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestisenya. Jika prestisenya meningkat maka konsep dirinya akan berubah.
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri yang tinggi.
1.2 Tujuan Makalah
a) Untuk memenuhi tugas kelompok mata-kuliah Pengembangan Peserta Didik
b) Sebagai referensi bagi pembaca dalam mempelajari matakuliah Pengembangan Peserta Didik
c) Untuk mengetahui apa saja perbedaan individu dalam proses belajar mengajar
1.3 LANDASAN PEMIKIRAN
Alasan kami memilih materi ini adalah karena tidak semua orang tahu apa saja yang menyebabkan setiap individu berbeda dalam proses belajar mengajar. Semoga dalam diskusi makalah ini kita dapat mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya.
BAB 2
PEMBAHASAN
Banyak sekali hal-hal atau faktor-faktor yang mempengaruhi seorang individu dalam proses belajar mengajar. Diantaranya adalah intelegensi, ekonomi, budaya, motivasi, dan lain-lain. Berikut kami jelaskan tengtang fakotr-faktor yang mempengaruhi perbedaan individu dalam belajar mengajar.
2.1 Inteligensi
Secara umum definisi Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua orang sudah mengenal istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Istilah inteligen sudah lama ada dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman Cicero yaitu kira-kira dua ribu tahun yang lalu dan merupakan salah satu aspek alamiyah dari seseorang. Inteligensi bukan merupakan kata asli yang berasal dari bahasa Indonesia. Kata inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu “inteligensia“. Sedangkan kata “inteligensia“ itu sendiri berasal dari kata inter dan lego, inter yang berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran.
Dengan demikian untuk mengatasi segala tantangan dan perubahan yang terjadi, seseorang harus cerdas dan juga mampu menggunakan semua kecerdasan otak yaitu intelektual, emosional dan spiritual.
Namun ada juga beberapa definisi menurut para ahli:
Claparde dan Stern, mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
K. Buhler, mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: intelegensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya. William Stern berpendapat bahwa intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan, pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.
2.1.1 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTELEGENSI
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi sehingga terdapat perbedaan intelegensi seseorang dengan yang lain ialah:
1) Pembawaan, Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri yang dibawah sejak lahir. Batas kesanggupan kita yakni bisa atau tidaknya memecahkan suatu masalah, pertama ditentukan oleh pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar ada pula yang tidak. Sekalipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
2) Kematangan, tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ(fisik maupun non fisik) dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Seorang anak tidak dapat memecahkan soal-soal tertentu karena soal-soal itu masih terlalu sukar baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk mengenali soa tersebut dan kematangan erat hubungannya dengan umur.
3) Pembentukan, pembentukan ialah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja seperti yang dilakukan disekolah-sekolah dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar)
4) Minat dan pembawaan yang khas, Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan – dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motivasi). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbulah minat terhadap sesuatu.
5) Kebebasan, kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam pembentukan intelegensi.
2.2 Sosial Ekonomi
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks ‘apa’, ‘bagaimana’, dan ‘mengapa’. ‘apa’ menunjukkan kepada tujuan (goals/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. ‘bagaimana’ menunjukkan kepada orang lain cara mencapai tujuan (goals/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan ‘mengapa’ menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku ‘bagaimana’, baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi instrinsik) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu:
· kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan
· kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual
· kebutuhan kasih sayang atau penerimaan
· kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status
· kebutuhan aktualisasi diri
Sementara itu, Stranger (Makmun, 2003) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:
a. Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.
b. Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.
c. Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.
d. Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) yang merupakan kekuatan seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Berkaitan dengan motif individu, untuk keperluan studi psikologis, motif individu dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :
1. Motif primer (basic motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif yang tidak dipelajari, dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.
2. Motif sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial (ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest (eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.
Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari indikator-indikatornya, yaitu : (a) durasi kegiatan; (b) frekuensi kegiatan; (c) persistensi pada kegiatan; (d) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (e) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (f) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (g) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (h) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif yang mengarah kepada tujuan tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam individu, adakalanya individu harus berhadapan dengan motif yang saling bertentangan atau biasa disebut konflik.
Bentuk-bentuk konflik tersebut diantaranya adalah :
· Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.
· Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.
· Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya motif negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.
Jika seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.
Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).
Bentuk perilaku salah (maldjustment), diantaranya : (1) agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi (kemunduran perilaku); (4) fiksasi; (5) represi (menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).
Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan frustrasi.
2.3 Budaya
Goodenough (1971), Spradley (1972), dan Geertz (1973) mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin , 2002).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya.
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik. Hasil perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Disini kebudayaan dapat disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam. Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang memicu akal budi manusia untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai ‘bidak-bidak di dalam papan catur’ kebudayaan. Individu adalah creator dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam hal ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler” yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam perkembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian tersebut. Inilah yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian dan kebudayaan. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif. Pranata sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan kepribadian yang kreatif tersebut. Namun apa yang terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung kreativitas peserta didik.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah laku manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-laku binatang tetapi yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi. Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.
Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris dan psikoanalisis Para ahli psikologi behaviorisme melihat perilaku manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dan dari sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu pula psikolog aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di mana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan system nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar. Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa peranan kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi terhadap konsep pembentukan kepribadian juga akan tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar aliran behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan terhadap pengembangan kepribadian manusia. Pada dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan sebagai berikut:
1) Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Tentunya dinamika tersebut bukanlah suatu dinamika yang otomatis tetapi yang muncul dari aktor dan manipulator dari interaksi tersebut ialah manusia.
2) Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan untuk mencapai suatu misi tertentu. Keterarahan perkembangan tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong tetapi dalam suatu masyarakat manusia yang berbudaya.
3) Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor penting ialah imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperolehnya secara langsung dari lingkungan kebudayaannya. Manusia tanpa imajinasi tidak mungkin mengembangkan kepribadiannya. Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing seorang diri dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya. Bayangkan bagaimana kehidupan kebudayaan manusia apabila setiap kali harus dimulai dari nol.
4) Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam masyarakat agar ia dapat hidup dan berkembang. Tentunya manusia itu dapat saja menentang tujuan hidup yang ada di dalam masyarakatnya, namun demikian itu berarti seseorang akan melawan arus di dalam perkembangan hidupnya. Yang paling efisien adalah dia secara harmonis mencari keseimbangan antara tujuan hidupnya dengan tujuan hidup dalam masyarakatnya.
5) Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu yang dekat maupun tujuan dalam waktu yang panjang. Baik waktu yang dekat maupun tujuan dalam jangka waktu yang panjang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam suatu masyarakat.
6) Berkaitan dengan keberadaan tujuan di dalam pengembangan kepribadian manusia, dapatlah disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan. Learning is agoal teaching behavior.
7) Dalam psikoanalisis juga dikemukakan mengenai peranan super-ego dalam perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut tidak lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti yang telah diuraikan, dunia masa depan yang ideal merupakan kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.
8) Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia. Bersama-sama dengan ego, beserta ide, keduanya merupakan energi yang ada di dalam diri pribadi seseorang. Energi tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi yang ada serta dorongan super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya.Dengan kata lain di dalam pengembangan ide, ego, dan super-ego dari kepribadian seseorang berarti mencari keseimbangan antara energi di dalam diri pribadi dengan pola-pola kebudayaan yang ada.
2.4 MOTIVASI BELAJAR
Motivasi belajar setiap orang berbeda antara satu dengan yang lainnya, tidak bisa disamakan. Biasanya, hal itu bergantung dari apa yang diinginkan orang tersebut. Misalnya, seorang anak mau belajar dan mengejar rangking pertama karena diiming-imingi akan dibelikan sepeda oleh orangtuanya. Contoh lainnya, seorang mahasiswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi agar lulus dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang hebat dengan tujuan membahagiakan orangtuanya.
2.4.1 Faktor-faktor yang membedakan motivasi belajar seseorang dengan yang lainnya
Beberapa faktor di bawah ini sedikit banyak memberikan penjelasan mengapa terjadi perbedaaan motivasi belajar pada diri masing-masing orang, di antaranya:
- Perbedaan fisiologis (physiological needs), seperti rasa lapar, haus, dan hasrat seksual
- Perbedaan rasa aman (safety needs), baik secara mental, fisik, dan intelektual
- Perbedaan kasih sayang atau afeksi (love needs) yang diterimanya
- Perbedaan harga diri (self esteem needs). Contohnya prestise memiliki mobil atau rumah mewah, jabatan, dan lain-lain.
- Perbedaan aktualisasi diri (self actualization), tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
2.4.2 Stimulus motivasi belajar
Terdapat 2 faktor yang membuat seseorang dapat termotivasi untuk belajar, yaitu:
- Pertama, motivasi belajar berasal dari faktor internal. Motivasi ini terbentuk karena kesadaran diri atas pemahaman betapa pentingnya belajar untuk mengembangkan dirinya dan bekal untuk menjalani kehidupan.
- Kedua, motivasi belajar dari faktor eksternal, yaitu dapat berupa rangsangan dari orang lain, atau lingkungan sekitarnya yang dapat memengaruhi psikologis orang yang bersangkutan.
2.4.3 Tips-tips meningkatkan motivasi belajar
Motivasi belajar tidak akan terbentuk apabila orang tersebut tidak mempunyai keinginan, cita-cita, atau menyadari manfaat belajar bagi dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pengkondisian tertentu, agar diri kita atau siapa pun juga yang menginginkan semangat untuk belajar dapat termotivasi. Dibawah ini beberapa tips untuk meningkatkan motivasi belajar:
- Bergaullah dengan orang-orang yang senang belajar
Bergaul dengan orang-orang yang senang belajar dan berprestasi, akan membuat kita pun gemar belajar. Selain itu, coba cari orang atau komunitas yang mempunyai kebiasaan baik dalam belajar.
Bertanyalah tentang pengalaman di berbagai tempat kepada orang-orang yang pernah atau sedang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, orang-orang yang mendapat beasiwa belajar di luar negeri, atau orang-orang yang mendapat penghargaan atas sebuah presrasi.
Kebiasaan dan semangat mereka akan menular kepada kita. Seperti halnya analogi orang yang berteman dengan tukang pandai besi atau penjual minyak wangi. Jika kita bergaul dengan tukang pandai besi, maka kita pun turut terciprat bau bakaran besi, dan jika bergaul dengan penjual minyak wangi, kita pun akan terciprat harumnya minyak wangi.
- Belajar apapun
Pengertian belajar di sini dipahami secara luas, baik formal maupun nonformal. Kita bisa belajar tentang berbagai keterampilan seperti merakit komputer, belajar menulis, membuat film, berlajar berwirausaha, dan lain lain-lainnya.
- Belajar dari internet
Kita bisa memanfaatkan internet untuk bergabung dengan kumpulan orang-orang yang senang belajar. Salah satu milis dapat menjadi ajang kita bertukar pendapat, pikiran, dan memotivasi diri.
- Bergaulah dengan orang-orang yang optimis dan selalu berpikiran positif
Di dunia ini, ada orang yang selalu terlihat optimis meski masalah merudung. Kita akan tertular semangat, gairah, dan rasa optimis jika sering bersosialisasi dengan orang-orang atau berada dalam komunitas seperti itu, dan sebaliknya.
2.4.4 Mencari motivator
Terkadang, seseorang membutuhkan orang lain sebagai pemacu atau mentor dalam menjalani hidup. Misalnya: teman, pacar, ataupun pasangan hidup. Kita pun bisa melakukan hal serupa dengan mencari seseorang/komunitas yang dapat membantu mengarahakan atau memotivasi kita belajar dan meraih prestasi.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
· Ada 4 hal yang menjadi faktor perbedaan individu dalam belajar mengajar. Yaitu, intelegensi, ekonomi, budaya dan motivasi.
· Intelegensi merupakan barometer nyata dalam mengindikasikan perbedaan seorang individu dengan individu lainnya.
· Jaman sekarang, uang pun sudah menjadi barometer untuk sebuah kelayakan belajar mengajar bagi seorang individu, apakah dia berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang pantas atau tidak.
· Jika kebudayaan dalam sebuah lingkungan tidak mendukung atas fasilitas belajar mengajar seorang individu, maka inndividu tersebut akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma pendidikan.
· Motivasi belajar merupakan hal penting terakhir yang harus dimiliki setiap individu agar tidak ‘kehabisan bahan bakar’ untuk mendorong semangat kita dalam belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi:
Dalyono. M. 2007. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta Jakarta.
Depoter, Bobbi & Mike Hernachi 1999, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Kaifa, Bandung
Hartono S., 1999. Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta
Makmun.S.A. 2003. Psikologi Pendidikan. Rosda Karya Remaja. Bandung
Purwanto, N. 1998. Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung
Semiawan C, 1977. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Grasindo Jakarta
Suryabrata, S. 2010.Psikologi Pendidikan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Utami Munandar. U, 1999, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta : Rineka Cipta Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar