Pages

Subscribe:

Senin, 28 Juli 2014

KESULTANAN CIREBON III (Perpecahan)



Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan(paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-JendralHindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara(FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
BEGITU menginjakkan kaki di depan gerbang keraton, yang tampak adalah sebuah pendopo dikelilingi tembok yang cat putihnya tampak tak terawat. Bahkan salah satu sisi gapuranya hanya menunjukkan bekas porselen dari Tiongkok yang pernah ditanamkan di tembok. Sayangnya lagi, dindingnya 'dihiasi' coretan dari oknum yang tidak bertanggungjawab. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa sudut halaman.
Itulah sebagian gambaran terkini dari Keraton Kanoman yang ada di kota Cirebon. Kondisi kurang bagus itu juga diperparah dengan lokasinya yang berada di balik keramaian Pasar Kanoman. Untuk menuju ke keraton, mobil maupun becak harus menerobos kerumunan para pedagang.
Tak terbayangkan bahwa tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap dengan baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Jika diamati dengan teliti, memang tampak keistimewaan bangunan pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbang itu berhiaskan piring-piring porselen yang cantik.
Beruntung sekali saat mengunjungi Keraton itu, Warta Kota bertemu dengan putra kelima dari almarhum Sultan Kanoman XI, yaitu Pangeran Raja Mohamad Qodiran yang menjabat sebagai Pangeran Patih Kanoman.
Menurut Mohamad Qodiran, awalnya Kesultanan Kanoman merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon. Namun Sultan Banten Ki Ageung Tirtayasa kemudian menobatkan dua orang pangeran dari Putra Panembahan Adining Kusuma (Kerajaan Mataram) untuk memegang kekuasaan di dua kesultanan. Keduanya yaitu Pangeran Badriddin Kartawijaya di Kesultanan Kanoman bergelar Sultan Anom dan Pangeran Syamsuddin Martawijaya di Kesultanan Kesepuhan bergelar Sultan Sepuh.
Kesultanan Kanoman diresmikan tahun 1677 Masehi. "Di antara keraton-keraton lain yang ada di Cirebon, Keraton Kanoman yang menjadi pusatnya peradaban Kesultanan Cirebon," tuturnya.
Keraton Kanoman juga dikenal taat dan konservatif dalam memegang adat istiadat dan pepakem. Contohnya tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri, Keraton Kanoman masih menyelenggarakannya. Dalam acara yang intinya ziarah sultan dan keluarganya ke Makam Sinuhun Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Keraton Kanoman memegang adat dengan penuh ketaatan.

0 komentar:

Posting Komentar