ALI BIN ABI THALIB DAN CIREBON
Cirebon adalah kota di tepi pantai utara Jawa bagian barat. Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada tahun 1513 Masehi mencatat bahwa Cirebon adalah kota yang memiliki pelabuhan yang mutakhir. Kemudahan akses menuju Cirebon dari wilayah laut, mungkin menjadi salah satu sebab mengapa kota ini menjadi tempat awal bersemainya ajaran Islam dan menjadi jembatan bagi tersebarnya ajaran Islam ke wilayah pedalaman Jawa Barat. Salah satu watak dari penyebaran Islam di Nusantara adalah menguatnya keberadaan figur-figur tokoh yang mengarah pada terbentuknya komunitas-komunitas, yang kemudian disempurnakan dengan berdirinya lembaga kesultanan.Menurut penelitian Ahmad Mansur Suryanegara, para penyebar agama Islam di Nusantara telah berhasil membangun kekuasaan Islam dengan mendirikan sekitar 40 kesultanan Islam yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk Cirebon (Irianto, 2012:2-3).Perintis kesultanan Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan adiknya, Nyimas Ratu Rarasantang. Atas perintah guru mereka, Syekh Nurjati, mereka pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di Mekah, Nyimas Ratu Rarasantang yang setelah berhaji diberi gelar Hajjah Syarifah Mudaim, dinikahi oleh Raja Mesir keturunan Bani Hashim, bernama Syarif Abdullah (bergelar Sultan Mahmud). Dari pernikahan ini, lahirlah putra bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M. Syarif Hidayatullah dibesarkan di Mesir, namun kemudian menuntut ilmu-ilmu agama dan tasawuf di Mekah dan Baghdad. Setelah itu, dia memilih pergi ke Cirebon untuk mensyiarkan ajaran Islam di tanah air ibunya.
Syarif Hidayatullah kemudian berdakwah di Jawa dan diberi gelar Sunan Gunung Jati. Keilmuan dan kewaliannya sedemikian cemerlang, sehingga akhirnya Sunan Gunung Jati diserahi tampuk kepemimpinan kesultanan Cirebon dengan helar Susuhunan Jati. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana umumnya kerajaan atau negara, Cirebon memiliki sebuah bendera kenegaraan, yang disebut Bendera Macan Ali. Bendera ini pernah dibawa dalam medan perang di Sunda Kelapa. Saat itu, pasukan Cirebon yang dipimpin Falatehan (menantu Sunan Gunung Jati) bersama pasukan Kesultanan Demak dan Banten, bahu-membahu mengusir Portugis yang hendak menguasai Sunda Kelapa (Irianto, 2012:3-4).
Saat ini, Bendera Macan Ali kuno disimpan di Museum Tekstil Jakarta, namun yang ditampilkan untuk publik adalah bendera tiruannya. Bendera Macan Ali dibuat dengan teknik batik tulis dan bertanda tahun 1776. Bendera ini menyimpan jejak sejarah yang sangat kaya, sehingga perlu dipelajari dengan seksama oleh bangsa Indonesia, khususnya generasi muda. Atas dasar itulah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, pada tanggal 11 September 2013 lalu mengadakan Seminar Bedah Naskah Bendera Kesultanan Cirebon.
Dalam seminar ini, hadir tiga pakar naskah kuno, Prof.DR. H.A. Sobana Harjasaputra, Drs Tawalinuddin Haris, MS, dan drh. Bambang Irianto, B.A. Dalam paparannya, Prof. Sobana menyatakan bahwa bendera Macan Ali sudah cukup dikenal oleh masyarakat Cirebon. Namun, bagaimana asal-usul dan penggunaan bendera itu, belum terungkap jelas. Oleh karenanya, yang bisa dilakukan oleh peneliti adalah memaknai berbagai tulisan dan simbol yang ada di bendera tersebut dan mengaitkannya dengan data-data yang tersedia mengenai sejarah Kesultanan Cirebon. Bendera Kesultanan Cirebon ini berbentuk segi panjang bersudut lima berujung lancip, seperti tanda penunjuk arah. Warna dasar bendera itu adalah biru kehitaman. Di bagian tengah bendera terdapat gambar pedang cagak (pedang bermata dua); gambar pedang ini terinspirasi dari pedang Dzulfiqar yang dihadiahkan Rasulullah kepada Sayyidina Ali.
Selain itu, ada kaligrafi berbentuk ‘Macan Ali' yang berjumlah tiga buah, dan di sekelilingnya dipenuhi tulisan berhuruf Arab berupa kalimat-kalimat dari Al Quran. Pada sisi kanan adalah kalimat basmalah, pada sisi atas adalah Surah Al Ikhlas, pada sisi bawah Surah Al An'am ayat 103, yang berarti ‘Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang keliahatan, dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui'. Gambar pedang cagak sendiri melambangkan huruf lam-alif, yaitu huruf pertama dari kalimah syahadat. Menurut Prof Sobana, dituliskannya ayat-ayat Al Quran dalam bendera itu menunjukkan bahwa bendera itu dibuat seiring dnegan penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Diduga kuat, ayat-ayat itulah yang banyak digunakan para pendakwah Islam masa itu dalam mengajarkan ketauhidan dan keberserahdirian kepada Allah SWT.
Sementara itu, Bambang Irianto, yang juga penulis buku Bendera Cirebon, Ajaran Kesempurnaan Hidup (Terbitan Museum Tekstil Jakarta, 2012) memaparkan berbagai makna tasawuf dari bendera Macan Ali ini, dengan berlandaskan hasil penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cirebon. Antara lain, bentuk bendera yang berbentuk penunjuk arah, melambangkan petunjuk hidup di dunia. Bingkai bendera yang berwarna kuning menunjukkan upaya mencapai kebahagiaan dan cita-cita yang tinggi. Kalimat Basmalah menunjukkan adanya tekad kuat dalam memulai segala sesuatu. Surah Al Ikhlas menunjukkan keikhlasan rububiyah sebagai landasan untuk melakukan keikhlasan amaliah. Surah Al Anam:103 menunjukkan bahwa manusia harus selalu berbuat benar dan sabar karena selalu dimonitor oleh Allah SWT.
Menurut Irianto, berdasarkan hasil penelusurannya di naskah milik Kraton Keprabonan, pedang cagak disebut juga sebagai pedang Dzulfaqor dan Dzulfikar. Dzulfaqor memiliki makna ‘yang mempunyai harapan', sedangkan Dzulfikar bermakna ‘yang mempunyai pikiran. Maksudnya adalah setiap amal dan perbuatan hendaknya selalu direncanaka dengan pemikiran berganda (berulang-ulang). Gambar macan besar yang berada di ujung pedang melambangkan pemimpin besar yang memandu rakyatnya dengan kalimat syahadat, karena pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, atas kepemimpinannya. Letak kaligrafi berbentuk macan itu berada persis di depan pedang cagak menandai bahwa seorang pemimpin harus sangat berhati-hati karena bila tidak, dirinya dan bangsanya akan mudah diserang oleh musuh.
Pernyataan menarik muncul dari Tawalinuddin Haris. Dia menyebut bahwa nama bendera Macan Ali sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ali Bin Abi Thalib. Menurutnya, kata ‘Ali' bermakna ‘yang tinggi/luhur', bukan mengacu pada Imam Ali. Namun kemudian salah satu peserta seminar mengkritisi pendapat ini dengan menyebut bahwa dalam kultur Cirebon dikenal tarekat-tarekat yang di dalam ritual-ritual mereka disebut-sebut nama Sayyidina Ali. Selain itu, dalam kisah-kisah sastra Sunda kuno juga disebut-sebut nama Sayyidina Ali. Ditambah lagi, ayat-ayat yang ditulis dalam bendera itu adalah ayat-ayat yang sufistik dan biasa dilafazkan dalam ritual tarekat-tarekat di Cirebon. Pernyataan ini disetujui oleh Drh. Bambang Irianto yang asli Cirebon dan ternyata juga pengikut tarekat Sattariah. Menurutnya, memang banyak ilmu-ilmu sufistik yang diajarkan dalam tarekat itu yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali.
Meskipun begitu, dalam makalahnya, Haris juga menyebutkan bahwa kaligrafi berbentuk macan itu kemungkinan merupakan adaptasi pengaruh budaya Persia. Di Persia, kalimat-kalimat yang mengacu pada pengagungan Sayyidina Ali dibentuk dalam wujud singa, sedangkan dalam kesenian Cirebon, kaligrafi kalimat syahadat dibentuk membentuk figur macan. Dasar pemikiran Haris adalah bahwa masuknya Islam ke Indonesia memang tidak langsung dari Arab melainkan melalui Iran atau India. Dalam kultur Cirebon, kaligrafi Macan Ali mendapat penghormatan yang tinggi dan digantung di masjid-masjid.
0 komentar:
Posting Komentar